Pages

Selasa, 28 September 2010

(Cerpen) : Kembali

Nadia merasa sangat bahagia. Cowok yang disukainya sejak empat bulan lalu sekarang ada di hadapannya. Bukan hanya itu, cowok itu juga sudah resmi jadi pacarnya. Namanya Fauzi. Tinggi, putih, dewasa dan sedikit cuek.

“Enak ya, punya cowok anak kuliahan? Dari dulu aku pengen kayak gitu lho. Tapi nggak ada yang pas. Nggak ada yang cocok.” Lili mendesah.
Lili adalah sahabat Nadia sejak masuk SMA. Sekarang, mereka sudah naik kelas sebelas. Dan untungnya mereka ada di satu kelas lagi, nggak terpisah kayak teman – teman yang lain.
”Ini sih cuma kebetulan, Li. Kebetulan jadiannya pas dia udah mau lulus. Sabar aja, Li. Bentar lagi juga pangeranmu dateng. Itu tuh!” seru Nadia sambil menunjuk cowok yang sama sekali bukan tipe Lili. Udah kurus banget, pake kacamata, makannya rakus pula. Hiii....
”Sialan!” Lili langsung memalingkan muka dari cowok itu, takutnya itu cowok kegeeran, kan gawat.
Lili terlihat manis dengan potongan rambut barunya. Panjangnya sebahu, membuatnya terlihat lebih segar dan sumringah. Kulitnya hitam manis. Dia juga punya lesung pipi yang membuatnya senyumnya menarik. Berbeda dengan Nadia. Rambutnya sedikit lebih panjang dari rambut Lili, tapi lebih diikat ketimbang digerai. Kulitnya putih mulus. Badannya lebih tinggi dari Lili. Lili rajin belajar, sedangkan Nadia malas, tukang tidur. Tapi Nadia cukup pintar, malah lebih pintar dari Lili. Karena Nadia selalu belajar maksimal kalau mau ada ulangan.
Nadia mencari dua tempat duduk sementara Lili memesan makanan ke Ibu Kantin. Susah banget buat dapet kursi di sini, hampir selalu penuh. Nggak heran, sih, soalnya soto dan lontong opornya rasanya mak nyus!
”Mas Fauzi diterima di mana, Nad?” tanya Lili. Sesendok lontong opor masuk ke mulutnya.
”Di UGM. Besok kalo aku lulus, aku mau kuliah di sana! Biar bareng sama dia. Hahahaha...” jawab Nadia senang sambil membayangkan dirinya ada di UGM.
”Huu...maunya. Emm...Nad, aku boleh kasih pendapat?”
”Ya boleh dong, Li. Sejak kapan aku ngelarang kamu?”
”Tapi kamu jangan marah, ya. Janji?”
”Janji.” Nadia mengangkat jari kelingkingnya seperti anak lima tahun.
”Kayaknya kamu harus sedikit ngawasin Mas Fauzi deh. Kalian kan LDR. Kamu juga nggak tau dia ngapain aja di luar sana. Mungkin ini cuma perasaanku aja, tapi keliatannya Mas Fauzi ada sesuatu sama mantannya.”
Nadia memicingkan mata.
”Mantannya? Yang kelas dua belas itu? Masa sih, Li?”
”Nggak tau juga, sih. Tadi kan aku udah bilang mungkin itu perasaanku aja.”
Nadia terdiam memikirkan ucapan Lili. Lili memang sering mengungkapkan hal – hal yang Nadia tidak tahu sama sekali. Seperti semacam prediksi. Tapi biasanya perasaan Lili itu bener. Nadia menggeleng sendiri.
Nggak, aku nggak boleh berpikiran buruk tentang cowokku sendiri.

Ayo angkat. Plis...
”Halo, Beib. Kangen ya?” terdengar suara berat Fauzi di seberang sana. Nadia bersyukur.
”Yee... Geer. Biasa aja. Cuma pengen denger kabar kamu.” sahut Nadia bohong.
”Itu namanya kangen, Sayang. Aku baik – baik aja, kok. Ternyata enak jadi anak kuliahan, nggak harus pake seragam tiap hari. Hahahaha... Kamu gimana?”
”Aku juga baik – baik aja, Cintaku. Balik ke Purwokerto kapan?”
”Syukur deh. Wah, kayaknya masih lama, Beib. Masih repot ngurusin ini itu. Kalo aku mau balik pasti aku kabarin kamu. Oke?”
”Yaaah. Ya udah kamu ati – ati ya di sana. Sering – sering balik ke sini. Jangan ketagihan di Jogja, inget kampung. Hehe...”
”Iya Sayang. Kamu juga ati – ati masih kecil, takut ada yang nyulik. Hihihi...Kalo udah nggak sibuk pasti aku balik. Udah dulu ya, Beib. Mau ngurus ATM nih. Daaah...love you.”
”Love you too.” klik. Nadia menghela napas lega. Sejauh ini semua baik – baik aja. Nggak ada yang perlu ditakutin dari Fauzi.

Mereka bertemu di sebuah cafe kecil di sebuah sudut di ujung Jl. Merdeka. Di luar, gerimis mulai turun. Rinai lembutnya menghias sore di kota Purwokerto. Nadia senang sekali bisa bertemu Fauzi setelah satu bulan hanya bisa mengobrol di telepon atau SMS. Tapi sepertinya Fauzi tidak merasakan hal yang sama.
”Kamu tinggal di mana di Jogja?” Nadia membuka percakapan.
“Aku ngekos di sana. Tempatnya deket sama kampus. Jadi enak. Nggak capek kalo harus pulang sampe sore atau malem.”
Hening. Nadia melihat Fauzi memainkan handphone-nya. Ada SMS masuk. Fauzi membalas SMS itu dan berlanjut. Nadia sangat ingin merebut handphone itu, tapi batal. Dia sendiri nggak suka ada orang lain yang mengambil HP-nya, apalagi kalau habis itu baca inbox. Lagipula, sejak awal Nadia dan Fauzi sudah berkomitmen untuk saling percaya satu sama lain. Tapi kalau jadinya gini, Nadia menyesal udah bikin komitmen kayak gitu.
Nadia pulang dengan hati kecewa. Dia kangen banget sama Fauzi. Ternyata setelah ketemu malah dicuekin. Udah gitu Fauzi keliatannya nggak ngerasa salah sama sekali.

Musik pop terdengar keras dari kelas Nadia. Wali kelas ada rapat sama Kepsek, jadi nggak akan ada pelajaran sekitar satu setengah jam. Ada yang nyetel lagu super keras, ada yang pake headset, ada yang tidur, ke kantin bahkan ada yang baca buku!
”Li, aku sebel banget sama Fa...” Nadia menghentikan ucapannya ketika Lili menaruh jari di bibirnya yang kecil.
”Cerita di luar aja, Nad. Nggak jelas di dalem sini.”
Mereka berjalan ke luar. Tadinya mau cerita sambil duduk. Tapi berhubung bosen, mereka jalan – jalan keliling sekolah.
“Tadi kamu mau cerita apa, Nad?” tanya Lili sambil memetik bunga bougenville.
“Kemarin – kemarin aku ketemuan sama Mas Fauzi. Aku dicuekin, Li. Mungkin bener apa kata kamu.” ucap Nadia sedih.
”Jangan pesimis gitu dong, Nad. Kan belum tentu, nggak ada bukti juga.”
”Tapi Mas Fauzi berubah, Li. Aku juga sih, yang nyebelin. Aku marah sama dia. Aku nggak nelfon atau SMS dia lagi. Udah tiga hari, Li. Dia juga diem aja. Harusnya dia dong yang telfon atau SMS aku atau ngajak ketemuan. Lost contact, Li. Masa harus aku terus yang mulai? Apa aku putusin aja, ya?” Nadia menendang kerikil di depannya.
”Jangan, Nad. Belum juga dua bulan jadiannya. Nanti pasti dia hubungin kamu. Positif thinking ya...” jawab Lili sambil mengelus pundak sahabatnya itu. Nadia mengangguk.
”Sekarang dia udah di Jogja lagi. Jangan – jangan dia punya cewek di sana? Yang lebih cantik dan lebih pinter dari aku. Aku dilupain, ditinggal.”
”Enggak, Nad. Semangat dong. Balik jadi Nadia yang biasa, yang semangat, antusias, heboh. Ya?” Nadia tersenyum
”Nah, gitu dong...”

Seminggu kemudian...
Nadia dan Lili baru selesai mengerjakan tugas kelompok di sekolah sore itu. Teman – temannya yang lain sudah pulang. Tinggal mereka berdua.
”Makan yuk, Li.”
”Di mana?” tanya Lili lemas. Memang tadi dia menulis sangat banyak.
“Makan kecil apa makan besar, nih?”
“Makan kecil aja deh. Tadi sebelum ke sini aku udah makan di rumah soalnya. Kita ngopi – ngopi aja...Setuju?” mereka mulai kerja kelompok jam tiga sore. Supaya semua anggota kelompok bisa ganti baju dan makan lebih dulu.
”Oke! Kita ke Chocoffee aja. Gimana?” tanya Nadia.
”Sip. Yuk cabut.”
Chocoffee. Café yang ada di ujung Jl. Merdeka itu, tempat di mana Nadia dan Fauzi biasa bertemu, sore ini masih cukup sepi. Biasanya café ini akan ramai sekitar jam delapan sampai jam sebelas malam.
Nadia memakai ruffles floral ungu dan sepatu flat warna putih. Lili mengenakan dress pink dan sepatu yang sama dengan Nadia. Ya, mereka memang sengaja membeli sepatu itu biar kelihatan kompak. Hehehe…
Lili mendorong pintu masuk, Nadia mengikuti di belakangnya. Seperti biasa, Nadia mencari tempat duduk, Lili memesan sesuatu. Mata Nadia berkeliling menjelajahi ruangan itu. Ada sekelompok cewek tertawa – tawa di satu meja. Kemudian dua meja setelahnya ada dua cowok dan tiga cewek yang juga satu meja.
Nadia ingin duduk di dekat jendela samping, tempat favoritnya dan Fauzi. Tapi sudah ada yang menempati. Pasangan yang terlihat harmonis. Nadia mulai mencari tempat lagi. Tapi...Tunggu! Kepalanya menoleh ke tempat duduk dekat jendela samping tadi. Mas Fauzi! Dan...Nadia sama sekali nggak asing sama muka cewek itu. Kakak kelasnya. Mantan pacar Fauzi. Fia namanya. Dada Nadia terasa sesak. Matanya panas.
”Nad, belum nemu tempat duduk dari tadi? Aduh, kamu ngapain aja sih? Yuk kita cari bareng.” Nadia tidak bergeming.
”Nad? Kamu ngeliatin apa? Nad?” Nadia tetap diam. Lili mengikuti pandangan mata Nadia.
”Ya Allah! Nad, sabar ya. Kita pergi aja dari sini, yuk. Kita cari tempat makan lain. Ayo, Nad.” Lili hampir menarik tangan Nadia ketika Nadia mulai berjalan ke arah Fauzi.
”Nad....jangan Nad. Nadia!” terlambat. Nadia nggak bisa dicegah lagi. Lili mengira Nadia akan marah dan berteriak – teriak, tapi dugaannya salah.
Nadia berjalan dengan sangat cepat. Air matanya menetes di kedua pipinya yang putih.
“Mas Fauzi.” Ucapnya datar sambil menatap Fauzi. Yang ditatap bingung, mencari alasan, membuka mulut tapi tidak satu katapun keluar. Fia juga tampak bingung.
”Nadia? Kamu kok ada di sini? Sejak kapan? Ayo gabung.” Fauzi salah tingkah.
”Selama ini aku kurang apa sih, Mas? Bilang sama aku! Aku nggak pernah marah kamu jarang balik ke sini. Aku tanya kabar kamu. Aku doain kamu. Aku nunggu kamu di sini. Kamu nggak jadi pulang, oke. Aku masih sabar. Aku nggak pernah nyentuh handphone kamu. Aku percaya aja sama kamu! Tapi kalo kayak gini, aku...aku...” Nadia mulai terisak. Lili hanya bisa diam.
”Nad, ini nggak kayak yang kamu liat. Biar aku jelasin dulu.”
”Silakan. Aku dengerin.”
”Aku nggak ada hubungan apa – apa sama Fia.” Fauzi memulai.
”Oh, jadi barusan kamu nembak aku bohongan gitu, Zi. Kamu baru aja minta kita balikan, Zi. Kamu lupa?” Fia memotong. Fauzi mendelik ke arahnya.
Nadia sudah tidak kuat lagi. Fauzi membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Nadia memotong.
”Gini aja, Mas Fauzi. Aku nggak keberatan kalo Mas mau balikan sama Mbak Fia. Silakan. Aku nggak apa – apa. Tapi itu berarti kita harus putus. Biar nggak ada yang ganggu hubungan kalian. Makasih ya, Mas. Makasih selama ini udah bikin aku seneng. Makasih.” air mata Nadia semakin deras mengalir. Nadia berbalik, lalu berlari keluar diikuti Lili.
”Nadia! Nad! Tunggu, Nad!” Fauzi memanggil – manggil di belakangnya. Nadia tidak peduli. Nadia cepat – cepat membonceng Lili.
“Li, maaf ya selama ini aku nggak percaya sama kamu. Harusnya aku nurutin kata – kata kamu.”
“Iya, Nad. Nggak apa – apa. Yang penting sekarang kamu udah tau yang sebenernya.” jawab Lili sambil memutar gas motornya.
“Nadiaaaaaaaaaaa!” terlambat. Nadia semakin menjauh.
”Arrrgghhh.”
Fia keluar dari cafe itu.
”Maaf, Zi. Kayaknya aku nggak bisa nerima kamu lagi. Maaf ya, Zi.” Fia menyetop taksi dan masuk tanpa menunggu jawaban Fauzi.
Senja. Langit memamerkan warna jingga kemerahannya. Sinar matahari menyusup hangat. Angin segar menggugurkan dedaunan yang menguning dari dahan pohon yang berderet bersebelahan dengan lampu jalan di sepanjang Jl. Merdeka. Kawanan burung beterbangan jauh di atas. Beberapa di antaranya beristirahat, bertengger di kabel – kabel listrik. Fauzi terdiam. Menyesal. Jauh di sana, Nadia menangisinya, menunggunya kembali.

0 komentar:

Posting Komentar