Saya yakin kamu akan tahu kalau yang dimaksud di sini adalah kamu kalau kamu membacanya sampai selesai. Masih ingat bagaimana kita pertama kenal dulu? Jujur, saya tidak pernah menyangka kamu akan pernah masuk ke dalam kehidupan saya. Saya tidak pernah berpikir untuk mengenal kamu. Tapi toh nyatanya akhirnya kita saling kenal.
Semakin lama saya mengenal kamu, saya merasa kita cocok dalam banyak hal. Hobi kita sama : membaca buku, menulis kata – kata cantik yang entah kita dapat dari mana, mendengarkan musik dan mencari lirik lagu yang kita suka. Tapi kita juga berbeda dalam banyak hal : kamu dewasa, saya kekanakan ; kamu disiplin, saya tidak ; kamu tegas, saya lemah ; kamu cukup rajin, saya malas ; kamu hati – hati, saya ceroboh dan mungkin masih banyak hal lagi yang lupa saya sebutkan. Tapi saat itu, perbedaan – perbedaan yang saya sebutkan tadi justru membuat saya berpikir bahwa mungkin kamu bisa melengkapi hidup saya. Perasaan itu mulai muncul. Setiap hari saya merasa ada orang yang melindungi dan menasihati jika saya berbuat ceroboh dan sebagainya. Saya merasa hidup saya sedikit lebih terang dan perlahan – lahan hampir lengkap dengan adanya kamu. Namun terkadang saya juga merasa tidak pantas di dekat kamu. Kamu terlalu baik.
Saya mulai berpikir kamu juga merasakan hal yang sama. Sikap kamu tidak pernah berubah selama beberapa bulan. Mengapa kamu bahkan tidak pernah tersenyum? Kamu juga tidak menyapa saya padahal kita bersebelahan waktu itu. Mengapa kamu diam saja? Sedikit demi sedikit pikiran saya tentang perasaanmu pun luntur. Begitu juga dengan apa yang saya rasakan.
Saya menemukan orang lain dan saya mengatakannya dengan terus terang kepada kamu. Lalu mangapa kamu mendukung saya? Harapan saya waktu itu adalah : kamu mengatakan bahwa kamu menyukai saya. Tapi ternyata tidak. Kamu tetap kamu yang biasa, yang selalu mendukung saya. Beberapa hari setelah itu, saya menyampaikan kekesalan atas apa yang saya temukan. Kamu bilang : “Jangan mau dikendalikan perasaan kita sendiri. Seharusnya kitalah yang mengendalikan perasaan itu. Jangan sampai kita kehilangan kendali hanya karena sebuah perasaan yang lebih banyak mendatangkan hal buruk daripada hal baik. Saat ini juga saya sedang menyukai seseorang. Tapi saya tidak akan mengatakan apapun tentang itu ke orang lain minimal sampai dua tahun lagi. Saya ingin belajar dulu.”
Kamu sedang menyukai seseorang. Itu yang kamu bilang. Harapan saya waktu itu muncul lagi. Tapi hilang lagi waktu kamu mengucapkan dua kalimat terakhir. Saya tidak putus asa. Masih banyak yang harus saya cari dalam hidup. Dan kamu hanyalah satu dari sekian banyak hal itu yang sesegera mungkin akan bisa saya ganti.
Kamu terus mendukung saya untuk mendapatkan orang lain yang bisa mengerti saya. Tahukah kamu, kalau waktu itu saya berpikir bahwa kamu satu – satunya yang mengerti saya? Tapi kamu datar saja. Saya jadi kesulitan menebak apa yang ada di pikiran kamu dan saya memilih menyerah.
Saya ingat setiap hari kita membahas banyak hal mulai dari yang tidak penting sampai yang darurat. Saya juga ingat bagaimana cara kamu menasihati saya seperti seorang ayah kepada anaknya. Saya ingat bagaimana kamu melindungi saya layaknya seorang kakak. Saya ingat bagaimana kamu menghibur saya dengan kalimat – kalimat bijak yang kamu miliki. Saya ingat bagaimana sabarnya kamu menghadapi saya saat saya merasa muak dengan dunia saya. Saya ingat bagaimana kamu mengajari saya untuk menjadi orang yang lebih baik, yang bisa lebih menghargai diri sendiri dan orang lain. Saya ingat semua tentang kamu sampai saya menemukan orang yang saya anggap tepat.
Lalu tiba – tiba sikap kamu berubah. Kamu diam. Kamu acuh. Kamu tidak peduli. Saya bingung. Saya kalut. Saya gelisah. Apa yang harus saya lakukan? Minta maaf terlihat terlalu konyol karena saya juga tidak mengerti apa yang menyebabkan kamu seperti ini. Bukannya kamu orang pertama yang selalu mendukung saya melakukan apapun yang menurut kamu baik? Saya kaget. Saya heran.
Meskipun saya sudah menemukan hidup saya, tiba – tiba hidup ini terasa tinggal setengah saja tanpa kata – kata yang kamu berikan. Hidup saya jadi terasa melayang. Ringan, tapi hampa. Untungnya hal ini berlangsung sebentar saja karena saya lupa.
Sebulan kemudian baru saya tahu kalau dulu kamu merasakan hal yang sama. Tubuh saya mendadak lemas dan gemetar. Mengapa kamu tidak mengatakannya dari dulu saja? Saya yakin kita bisa saling mengerti tanpa ada orang lain yang tahu akan hal itu. Bayangkan kalau dulu kamu mengatakannya. Sekarang pasti semuanya berbeda. Sungguh, saya menyesal.
Hanya ini yang sangat ingin saya ucapkan kepada kamu jika saya sanggup, sayangnya tidak sehingga saya terpaksa menulisnya. Terima kasih, terima kasih banyak karena telah mau menjadi bagian dari hidup saya. Terima kasih telah mengajarkan saya banyak hal. Terima kasih telah meluruskan kesalahan saya. Terima kasih untuk selalu mendukung saya sekalipun membuat kamu sakit. Terima kasih untuk semua yang kamu lakukan selama kita saling mengenal.
Dan maaf. Maaf karena saya tidak menyadarinya. Maaf karena saya membuat kamu sakit setelah sebelumnya telah tersakiti orang lain dan mengatakannya kepada saya. Maaf karena saya hanya berani menulis ini. Maaf atas semua yang telah saya lakukan selama kita saling mengenal.
Semoga kamu membaca dan mengerti.